Peredaran Illegal Satwa Dilindungi Di Pasar Burung Palembang, Sumatera Selatan
“Kami tidak khawatir berjualan satwa dilindungi karena tidak ada petugas yang datang kemari koq,”demikian kata seorang pedagang Landak Raya (Hystrix bracyura) di Pasar 16 Hilir, Palembang, Sumatera Selatan kepada investigator WCU ketika ditanya kenapa mereka berani menjual satwa dilindungi secara terbuka.
Hasil survey cepat WCU (RMS/Rapid Market Survey) terhadap 3 buah pasar burung terbesar di kota Palembang, yaitu Pasar Burung Cinde, Pasar Burung 16 Hilir, dan Pasar Burung Pasar Jaya, menunjukkan bahwa perdagangan satwa dilindungi di Palembang berlangsung terbuka. Meskipun para pedagang mengetahui beberapa satwa yang mereka jual adalah dilindungi, tidak ada ketakutan sama sekali dari wajah mereka.
Polhut BKSDA Sumsel tidak menyangkal adanya perdagangan satwa illegal ini. “Banyak preman di pasar burung yang membuat kami tidak mau berurusan dengan mereka,”ujar Edi Sopian, seorang polhut yang sempat bertugas pula di BKSDA Lampung. Keengganan ini didasarkan akan fakta bahwa potensi keributan yang mengarah ke kekerasan dapat terjadi ketika dilakukan razia satwa dilindungi. “Kami bahkan sudah mengidentifikasi ada satu kontainer sebagai tempat penyimpanan satwa di belakang Pasar Burung 16 Hilir yang berisi puluhan Kukang, elang, dan burung-burung Indonesia Timur lainnya. Tetapi kami tidak berani melakukan razia sendiri,”tambahnya. “Kita membutuhkan suatu strategi seperti yang WCU lakukan dengan cara bekerjasama dengan kepolisian dan dalam menanggulangi perdagangan satwa dilindungi,”harap Edi.
Pasar Burung 16 Hilir merupakan pasar burung terbesar diantara 2 pasar burung lainnya. Tercatat ada 24 pedagang permanen dan musiman yang menjual satwa dalam keranjang-keranjang kayu dan kawat. Selain menjual burung-burung lokal, pasar ini juga menjual parrot dari Indonesia Timur seperti Bayan (Eclectus roratus) dan Kasturi Ternate (Lorius garrulus) dan reptile, Buaya Muara (Crocodylus porosus) dan Biawak (Varus sp). Sementara itu, primata dari jenis Kukang (Nycticebus coucang), Simpai (Presbytis melalophos), dan Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) menjadi primata favorit bagi pedagang karena banyak konsumen yang tertarik untuk membeli.
Berdasarkan investigasi WCU di Pasar Burung Paramuka, Jakarta, parrot dari Indonesia Timur berasal dari penyelundupan yang dilakukan dengan memakai jalur darat (kereta api, bus AKAP, DAMRI) dari Jakarta menuju Palembang. Burung ini dikemas dalam kotak-kotak plastik yang sempit dengan sirkulasi udara terbatas. Tercatat 10% kematian parrot terjadi dalam proses pengiriman dari Jakarta ke Palembang.
Perjumpaan Landak Raya (Hystrix bracyura) secara terbuka di Pasar 16 Hilir menjadi hal yang luar biasa, mengingat satwa nocturnal ini belum pernah dijumpai oleh investigator dijual dalam sebuah pasar burung secara terbuka dimanapun. “Landak ini saya jual 200 ribu mas,”tawar pedagang landak kepada WCU. “Saya bahkan mampu menjual minimal 2 ekor dalam sebulan,”tambahnya.
Di 16 Hilir, seorang penampung besar Buaya Muara (Crocodylus porosus) tampak begitu bebasnya menampung buaya dan biawak dari para penjual. Buaya-buaya dibeli dengan ukuran panjang minimal 20 cm. Menurut pengakuannya, buaya itu didapatkan dari para pemburu yang mengambil anak-anak buaya di tambak-tambak udang atau di daerah mangrove. Tambak-tambak udang yang dikeringkan sering meninggalkan anak-anak buaya di dasar tambak. Anak-anak buaya ini terkadang dibunuh oleh pemilik tambak atau dikumpulkan oleh pengumpul buaya untuk dijual di Palembang. “Lumayan mas, seekor buaya saya beli 150 ribu. Setelah besar, saya bisa mendapatkan harga 3 kali lipat dari harga semula,”senyum pengumpul buaya itu. Seorang penampung kecil Buaya Muara juga berhasil diidentifikasi WCU di 7 Ulu, Sumsel.
Seperti kebanyakan pasar burung di Jawa, perdagangan primata adalah perdagangan satwa yang sangat menguntungkan. Keuntungan yang diperoleh di tingkat pedagang bisa mencapai 8 – 10 kali lipat dibanding yang diperoleh pemburu atau pengumpul. DI Pasar 16 Hilir, tercatat ada 3 jenis primata yang diperdagangkan, 1 diantaranya dilindungi, yaitu Kukang. Bahkan ada seorang pedagang yang khusus menjual jenis primata, musang, sampai kelinci. Kukang-Kukang yang dijual terlebih dahulu diratakan gigi seri dan taring supaya tidak melukai pembeli. Perlakuan ini seringkali menimbulkan infeksi yang berujung pada kematian Kukang. Selain itu, Kukang yang sudah dipotong giginya akan mengalami kesulitan dalam proses rehabilitasi untuk keperluan pelepasliaran. Berbeda dengan genus macaca yang terkenal mempunyai daya tahan fisik tinggi, Kukang termasuk jenis primata yang rentan terhadap perubahan pola makan, jam biologis, dan habitat-nya. Survey WCU terhadap PTS (Pusat Transit Satwa Gadog) dan PPSC (Pusat Penyelamatan Satwa Cikananga) menunjukkan bahwa kematian Kukang mencapai 80% lebih, sebagian besar dikarenakan ketidak mampuan menyesuaikan diri dengan perubahan habitat dan cacat yang ditimbulkan akibat pemotongan gigi oleh pedagang.
Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) merupakan jenis monyet yang paling laku dijual di Palembang, baik di tingkat lokal, pengumpul besar, maupun untuk keperluan ekspor. WCU mencatat bahwa 100% Monyet Ekor Panjang dijual dalam umur infant atau juvenile karena lebih familiar dengan pemelihara dibandingkan dengan umur dewasa. Harga monyet ini tidak jauh beda dengan harga Kukang, berkisar 50 – 75 ribu, sedangkan Kukang berkisar 30 – 80 ribu. Berbeda dengan Monyet Ekor Panjang, tinggi rendahnya harga Kukang tergantung pada ukuran badan, semakin besar ukuran badan harganya semakin tinggi.
Pasar Cinde adalah Pasar Burung yang khusus hanya menjual burung-burung saja. Berbagai jenis burung lokal Sumatera dan parrot dari Indonesia Timur digantung di atap kios permanen atau di emperan. Sama halnya dengan Pasar 16 Hilir, para pedagang burung Pasar Cinde tidak khawatir menjual burung-burung dilindungi karena tidak ada polhut yang mengawasi perdagangan satwa di pasar ini. Dalam survey ini, WCU mencatat ada 1 Bayan (Eclectus roratus) yang sudah masuk daftar buung dilindungi dan 3 Nuri Ternate (Lorius garrulus) yang belum dilindungi. Nuri-nuri ini dijual bervariasi, berkisar 200 – 300 ribu untuk nuri yang masih liar. Harga ini dapat melonjak sampai 3 kali lipat untuk nuri/kakatua yang mahir berbicara. Tercatat burung dari Genus Copsychus, Zoothera, Streptopelia, Geopelia, Pycnonotus, Lanius, Megalaima, Ducula, dan burung berkicau lain turut meramaikan Pasar Cinde.
Rekomendasi
Mengingat pasar burung di Palembang masih leluasa melakukan peredaran satwa liar dilindungi secara illegal, maka ada beberapa langkah-langkah yang bisa ditempuh berdasarkan pembelajaran yang dilakukan WCU di pasar burung di Bandarlampung, Lampung:
Melakukan penyuluhan kepada para pedagang tentang keberadaan undang-undang perlindungan satwa liar dilindungi, pengenalan satwa-satwa yang dilindungi, dan sanksi dan konsekuensi yang diterima ketika melanggar undang-undang tersebut
Menyarankan kepada BKSDA Sumatera Selatan untuk melakukan aktivitas monitoring dan patroli rutin ke pedagang pasar burung untuk mengawasi peredaran satwa yang dijual.
Melakukan penyitaan dan proses hukum terhadap para pedagang satwa yang masih memperjualbelikan satwa dilindungi, para penangkar dan penampung satwa yang menampung satwa liar dilindungi dari alam, dan para penyelundup satwa dilindungi dari Indonesia Timur.
Melakukan tindakan penegakan hukum yang melibatkan aparat kepolisian untuk meredam konflik sosial ketika proses represif dilakukan oleh polhut BKSDA Sumatera Selatan.
0 comments:
Post a Comment